Rabu, 20 April 2016

Kalau Kartini Masih Hidup Pasti Menangis

kartini-tangsel
Kalau Kartini Masih Hidup

Dalam buku Kartini yang fenomenal berjudul Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang, ibu kita saat itu menuliskan kegelisahan hatinya menyaksikan wanita Jawa yang terkungkung adat sedemikian rupa. Tujuan utama beliau menginginkan hak pendidikan untuk kaum wanita sama dengan laki-laki, tidak lebih. Ia begitu prihatin dengan budaya adat yang mengungkung kebebasan wanita untuk menuntut ilmu.

Menurut Kartini, ilmu yang diperoleh para wanita melalui pendidikan ini bukanlah sebagai sarana untuk sekedar menang-menangan dengan laki-laki. Tapi lebih sebagai bekal mendidik anak-anak kelak agar menjadi generasi berkualitas. Bukankah anak yang dibesarkan dari ibu yang berpendidikan akan sangat berbeda kualitasnya dengan mereka yang dibesarkan secara asal? Inilah yang berusaha diperjuangkan Kartini saat itu.
Kartini memang sempat kagum dengan kemajuan yang dicapai oleh wanita Barat. Karena kebetulan saat itu yang menjadi teman koresponden beliau adalah wanita-wanita dari negeri Belanda. Tapi jangan lupa lho, ada perubahan pemikiran pada diri Kartini setelahnya ketika ia mengatakan dalam tulisannya:  “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradapan?. Artinya bahwa budaya Barat bukanlah menjadi parameter keberhasilan dalam membentuk sebuah peradapan baru yang bermutu”
Sungguh , ibu kita Kartini pasti menangis dengan teramat nelangsa apabila beliau tahu apa yang dilakukan wanita-wanita sekarang dengan mendompleng  nama besar perjuangannya. Lihatlah wanita-wanita yang terserak di jalan-jalan dengan dandanan menor dan baju mini atas nama emansipasi. Mereka meninggalkan kewajiban serta fitrahnya sebagai wanita.
Para wanita itu enggan untuk menjadi ibu bagi anak-anaknya. Karena hamil hanya merusak bentuk tubuh indah mereka. Fungsi ibu sebagai pendidik utama juga telah tergantikan dengan keberadaan baby sister di rumah. Anak tumbuh besar dengan didampingi oleh orang lain dan miskin dekapan ibunya. Kehidupan dan karier diluar rumah jauh lebih menggiurkan daripada berkutat dengan anak di rumah.
Sedangkan mereka, para muslimah yang memilih setia  manjadi ibu rumah tangga lebih banyak dicibir karena dianggap tidak produktif. Makna produktif di sini adalah segala sesuatu yang dapat menghasilkan uang dan dapat dinilai secara materi.
Sangat disayangkan jika sudah tahu cita-cita Ibu Kartini saat beliau masih hidup dibandingkan dengan fakta yang kita lihat sehari-hari. Dan juga ada apa sih sebetulnya di balik ide emansipasi wanita itu. Ternyata dengan ide ini, bukannya membawa perbaikan nasib semakin terpuruknya ke lembah yang bernama eksploitasi. (DINA; Komunitas Penulis Bogor 36)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar